Lentera Praditya Ganapatih – Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), harapan baru pun tumbuh subur di tengah masyarakat pedesaan. Tak berlebihan bila banyak pihak menilai UU ini sebagai tonggak penting perubahan paradigma pembangunan di Indonesia, khususnya dalam memperkuat peran desa sebagai pilar utama dalam pembangunan nasional.
Ada dua alasan kuat mengapa kehadiran UU Desa dianggap sangat strategis. Pertama, jumlah penduduk desa pada saat awal implementasi UU ini (2015) masih mencapai 46,7% dari total populasi Indonesia. Namun, tren urbanisasi terus menggerus angka tersebut, hingga diperkirakan menyusut menjadi 36,6% pada 2030 (BPS, 2020). Artinya, desa masih sering diposisikan sekadar sebagai wilayah penyangga kota—bukan sebagai pusat pembangunan yang setara.
Kedua, UU Desa telah mengubah cara pandang pemerintah terhadap desa. Jika dulu desa hanya dianggap sebagai objek pembangunan, kini desa menjadi subjek utama pembangunan. Inilah perubahan paradigma besar yang menjadi landasan pergeseran model pembangunan nasional dari kota sentris menjadi berbasis desa.

Baca juga: Desa Bangkit Lewat Inovasi! Ini Deretan Program Unggulan yang Bikin Warga Makin Sejahtera
Membedah Dua Konsep: “Membangun Desa” vs “Desa Membangun”
Dalam konteks pembangunan pedesaan, dikenal dua pendekatan besar: “membangun desa” dan “desa membangun”. Meskipun sama-sama bertujuan memperkuat desa, pendekatan ini memiliki filosofi dan implikasi yang berbeda.
1. Membangun Desa
Konsep ini berasal dari teori pembangunan pedesaan (rural development) yang kerap dijumpai di dunia akademik. Di sini, desa dianggap sebagai bagian dari sistem pendukung kota (hinterland), yang menyediakan hasil pertanian, bahan baku, dan tenaga kerja.
Sayangnya, pendekatan ini cenderung menyeragamkan model pembangunan tanpa memperhatikan keunikan sosial, budaya, dan sumber daya alam tiap desa. Akibatnya, pembangunan kerap tidak optimal, partisipasi warga rendah, dan desa menjadi terlalu tergantung pada kebijakan pusat yang belum tentu sesuai kebutuhan lokal.
2. Desa Membangun
Sebaliknya, pendekatan ini menjadi ruh utama dalam UU Desa. Desa diposisikan sebagai entitas otonom yang berhak menentukan arah pembangunannya sendiri. Pemerintah desa memiliki kewenangan merencanakan, membiayai, dan menjalankan pembangunan sesuai potensi serta kebutuhan lokal.
Pemerintah pusat berperan sebagai fasilitator dan pembina kapasitas desa. Dengan model ini, desa diharapkan menjadi ujung tombak pelayanan publik, motor ekonomi lokal, sekaligus pusat kemandirian masyarakat.

Mengoptimalkan Potensi Desa: Dari Komoditas Menjadi Kompetensi
Setiap desa punya potensi yang berbeda—mulai dari potensi sosial, ekonomi, hingga ekologi. Untuk mengaktifkan potensi ini, desa perlu memahami betul karakteristik dan kekuatan unik yang dimilikinya.
Misalnya, sebuah desa yang dikenal sebagai sentra sayur-mayur tidak cukup hanya mampu memproduksi sayur. Untuk naik kelas, desa perlu mentransformasi potensi komoditasnya menjadi kompetensi, yaitu membangun ekosistem “persayuran”—meliputi pengolahan hasil panen, packaging, distribusi, hingga branding.
Dengan begitu, desa tak hanya menjadi produsen bahan mentah, tapi juga pelaku utama dalam rantai nilai ekonomi lokal. Inilah strategi yang akan membuat desa mampu bersaing sekaligus mandiri secara ekonomi.
Baca juga: Penerapan Fleksibilitas Kerja dengan Mengoptimalkan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik
Waspadai Bias Kota: Jangan Sampai Potensi Desa Malah Tersedot ke Perkotaan
Salah satu tantangan dalam pembangunan desa adalah munculnya bias kota, di mana pembangunan yang niatnya untuk memperkuat desa justru mengalirkan sumber daya—baik manusia, alam, maupun modal—ke kota.
Ini terjadi bila kebijakan pembangunan terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi cepat lewat industrialisasi yang mengandalkan sumber daya luar. Padahal, pembangunan yang berkelanjutan seharusnya menekankan pada penguatan permintaan dan pemanfaatan sumber daya lokal (demand side).
Pendekatan berbasis demand memang lebih lambat, namun jauh lebih tahan lama. Kunci dari pendekatan ini adalah sumber daya manusia (SDM) desa yang unggul.
SDM: Mesin Utama Pembangunan Desa
Kualitas SDM desa menjadi faktor penentu dalam keberhasilan pembangunan. Sayangnya, hingga kini, kapabilitas SDM pengelola desa masih menjadi titik lemah. Padahal, SDM tidak hanya dibutuhkan di sektor produksi, tapi juga dalam membaca peluang pasar, membangun kemitraan, serta menjaga keberlanjutan.
Bayangkan desa seperti mobil mewah. Semua perangkat sudah tersedia, tapi jika tidak ada sopir yang andal, mobil tersebut tak akan berjalan optimal. Maka dari itu, penguatan SDM desa harus menjadi prioritas utama dalam setiap perencanaan pembangunan.
Pemerintah perlu menyediakan roadmap atau peta jalan penguatan SDM desa, yang tercermin dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) serta peraturan turunan lainnya.
Dana Desa: Dari Stimulan Menjadi Katalis
Jika SDM desa telah memiliki kompetensi mumpuni, maka dana desa tak lagi sekadar “bantuan”, melainkan stimulan. SDM yang unggul akan mampu mengelola dana tersebut untuk mengembangkan potensi lokal, membangun infrastruktur, dan menghadirkan layanan publik berkualitas.
Dengan begitu, tujuan akhir dari UU Desa bukan sekadar membangun jalan dan jembatan, melainkan membangun manusia, kapasitas, dan keberlanjutan desa secara menyeluruh.
Penutup: Wujudkan Desa yang Mandiri dan Berdaya Saing
Undang-Undang Desa hadir bukan hanya untuk memberi kewenangan administratif pada pemerintah desa. Lebih dari itu, UU ini adalah peta jalan untuk menjadikan desa sebagai pusat peradaban baru yang mandiri, sejahtera, dan berdaya saing.
Jika seluruh elemen desa—mulai dari pemimpin hingga warga—bersama-sama memahami dan mengelola potensi yang dimiliki, maka desa tidak lagi sekadar pelengkap kota, tapi bisa menjadi fondasi utama kemajuan Indonesia.